Sinopsis menarik lainnya:
Sinopsis “Novel Daerah Tak Bertuan”
Penerbit : Grasindo
Dalam perang dikenal
istilah “daerah tak bertuan” dan “demakasi”. Yang pertama diartikan sebagai
daerah yang tidak dikuasai oleh salah satu pemerintahan, sedang yang kedua
dimaksudkan sebagai batas pemisah yang ditetapkan oleh pihak – pihak yang
sedang berperang, yang tidak boleh dilanggar salama gencatan senjata
berlangsung untuk memisahkan dua pasukan yang saling berlawanan dalam medan
pertempuran.
Novel karya Toha Mochtar ini bermula
dari gerombolan Item, dengan Marno, Truno, Ganda, dan Solimin yang melarikan
diri dari penjara Kalisosok, yang berhasil menjarah emas dan disimpan didalam
kampil. Merekapun menamai dirinya sebagai Pasukan Biru. Gerombolan tersebut
bertekat membayar sisa hukuman dengan ikut berjuang membela kemerdekaan. Ternyata
emas dalam kampil tersebut merupakan batu ujian bagi gerombolan tersebut yang
mengakibatkan pertengkaran diantara mereka dan pergolakan batinpun ikut menyatu
didiri para Pasukan Biru. Pertama – tama Item sendiri. Ia melanggar sumpah
sehingga tubuhnya hancur di penggir pasar Blauran.
Setelah kejadian tersebut
Marno, Ganda, Truno, dan Solimin akhirnya bersepakat untuk masuk kedalam
anggota Paskan Liar pimpinan Kaelani. Dan oleh komandan pasukan liar bernama
Kaelani menugaskan Pak Mantri, pensiunan Mantri garam yang ikut menjadi pasukan
Liar membawa kantong permata ke Markas Pertahanan RI di Mojokerto dengan
pengawalan Truno seorang bekas penjahat yang pernah dipenjarakan di Nusa
Kambangan. Perintah rahasia ini hanya diketahui oleh pak Mantri, Kaelani, dan
Ganda. Truno tidak mengetahui tugas yang diberikan kepada mereka ke Markas
Pertahanan itu. Di tengah perjalanan ke markas pertahanan di Mojokerto, setelah
selamat dari berondongan Ghurka, diluar dugaan Truno bertanya kepada Pak Mantri
untuk memberitahukan apa tugas yang sangat rahasia itu. Pertanyaan yang
mengandung maksud yang tersembunyi ini, apalagi berasal dari seorang bekas
penghuni Nusakambangan, membuat Pak Mantri sangat berhati – hati. Mereka hanya
berdua. Truno terus mendesak dengan berdiri dibelakang Pak Mantri. Truno bisa
saja menembak, membuang mayat Pak Mantri ke tengah tambak, lalu melarikan
kampil yang berisi permata itu ke daerah pendudukan. Akan tetapi itu semua
tidak terjadi. Boleh jadi lantaran Pak Mantri menghadapinya dengan tenang,
apalagi setelah Truno mendesak bahwa ia hanya ingin kepercayaan.
Semula Pak Mantri tidak mau
mengatakannya karena khawatir kepada bekas tahanan itu. Namun kemudian
diberitahukannya tugas yang berat mengantarkan permata itu dengan terus terang.
Kepercayaan itu ternyata meluluhkan hasrat jahat bekas pembunuh dari
Nusakambangan itu. Ia kembali bangkit dan bersumpah untuk setia mengawal Pak
Mantri sampai ke tujuan. Sayangnya sebelum sampai tujuan, dalam perjalanan yang
berbahaya itu Truno terkena pecahan peluru mortir dan meninggal dunia. Untung
Pak Mantri selamat dan berhasil menyelamatkan kantong permata itu sampai ke tujuan.
Meski akhirnya kampil permata itu selamat ketujuan, kematian Truno sangat
mengesankan dan membekas bagi Pak Mantri. Ia pun bertekad untuk menebusnya
dengan jalan menyelinap masuk ke dalam daerah pendudukan untuk membuat peta
seberang kali dengan lebih sempurna. Ia
mohon izin kepada Kaelani untuk melengkapi peta daerah seberang sungai
Cerme yang dikuasai tentara Ghurka-Inggris. Ia akan menyelundup ke sana
sendirian. Usaha yang mulia ini berakhir pula dengan kegagalan. Pak Mantri diketahui
musuh, ia pun tertembak dan mati di tangan pasukan Ghurka. Bunyi tembakan itu
terdengar sampai ke Daerah Tak Bertuan, dan mereka pun mengetahui apa artinya
itu, Pak Mantri telah gagal menjalankan misi rahasianya. Gugurnya Pak Mantri
menyebabkan Ganda merasa kehilangan.
Ketika Kaelani ada di Pos
Penjagaan datang Ganda, seorang anggota pasukan liar. Ia melaporkan perihal ketidak
senangannya kepada Solimin, temannya di penjara dulu, yang curiga kepadanya. Solimin menuduhnya telah menghianatinya
karena menyerahkan kampil tanpa sepengetahuannya. Solimin terus saja menuduhnya
dan memastikan bahwa ganda masih menyimpan separuh kantong permata yang mereka
temukan dulu.
Kecemasan Ganda terhadap
tingkah Solimin memuncak ketika ia sedang jaga di pos dekat langgar. Tiba –
tiba Solimin datang menanyakan kembali mengenai kampil permata yang
disembunyikan Ganda, tetapi Ganda tidak mau memberitahukannya, sebab memang ia
tidak membawa kampil permata tersebut. Kemudian dengan kemarahan yang amat
sangat, kedua tangan Solimin terayun dengan sebulat tenaga dan kekuatannya dan
sangkur jepang yang panjang dibenamkannya melalui bawah rusuk menembus jantung
Ganda. Tubuh Ganda yang berat itu menumbuk dinding di bawah jendela, telentang
ke samping. Diantara kelompok bekas narapidana itu, selain Item, Soliminlah
yang paling bernafsu untuk memiliki sebagian dari kampil. Ia bahkan akhirnya
tega membunuh Ganda sahabatnya itu. Kebetulan malam itu terdengar rentetan
tembakan dari arah pendudukan. Untuk menghapus jejak, pagi harinya, Soliminlah
yang melaporkan kematian Ganda kepada Kaelani. Kemudian anak buah Kaelani
menemukan mayat Ganda dekat pondok kecil di Daerah Tak Bertuan. Mereka mengira Ganda
meninggal ditusuk tentara Ghurka yang menyelinap ke daerah itu. Marno sahabat
Ganda sejak di Kalisosok, tidak mempercayainya. Tetapi Kaelani secara diam – diam
dan dirahasiakannya berkesimpulan bahwa Soliminlah yang membunuhnya. Hal itu
disimpulkannya berdasarkan bayonet Jepang yang hanya dimiliki Solimin, pipa
Solimim yang telah dikenalnya ditemukan di sisi mayat Ganda. Hanya kepada Mamo,
wakilnya, Kaelani beritahukan.
Dalam suatu pengadilan
yang dihadiri oleh Kaelani, Marno, dan terdakwa Solimin. Meski pada mulanya
Solimin menolak mentah – mentah tuduhan terhadapnya dengan kepintarannya
memutarbalikkan fakta akhirnya Solimin tidak bisa berkutik lagi setelah Kaelani
memberikan bukti lewat sangkur jepang dan pipa miliknya yang terjatuh ketika
menyeret mayat Ganda ke dekat pondok kecil di Daerah Tak Bertuan.
Setelah didesak Kaelani,
barulah Solimin mau mengakui perbuatannya. Karena itu ia dihukum. Mau mati ditembak
Marno di daerah pertahanan atau membalik lari menyeberang ke hulu atu pun ke
hilir karena Mobin dan Alwi telah diperintahkan Kaelani menghadang Solimin jika
ia berani melarikan diri yang berarti bahwa ia dikenal sebagai pengkhianat
pembunuh Ganda, atau mau menyusup ke pinggir sungai Cerme untuk menggranat
gardu penjagaan Ghurka yang ada di dekat jembatan, yang berarti bila ia mati akan
mati terhormat sebagai pahlawan yang berani.
Solimin memilih yang kedua. Ia berhasil menggranat
gardu tentara Ghurka dan bersamaan dengan itu pula ia tertembak mati.
Esoknya anak – anak
pasukan yang hadir pada waktu pemakaman jenazah Solimin. Semua menundukkan
kepala, tak banyak yang bicara, keharuan yang dalam menyelubungi mereka. Tak
seorangpun mengetahui peristiwa yang sebenarnya seperti yang dikehendaki oleh
Kaelani. Tidak Mobin juga Alwi. Ternyata Kaelani tidak menyuruh Mobin ataupun
Alwi untuk berjaga di hulu dan di hilir daerah pertahanan karena itu adalah
siasat yang dibuat Kaelani. Dua orang bekas tahanan penjara Kalisosok yang
paling akhir dalam pasukan liar yaitu Ganda dan Solimin telah gugur dalam jarak
sehari. Selesai tanah ditimbun, menyusul doa yang khidmad yang dibacakan oleh
Mobin, semua pasukan tak terkecuali Kaelani komandan Pasukan Liar meninggalkan
tempat pemakaman Solimin. Malamnya anak – anak dari Pasukan Liar menyebar diri
menempati penjagaan dalam bekas – bekas reruntuhan gedung, dalam pos – pos
pengadangan, dalam gubuk – gubuk reyot sepanjang garis perbatasan yang paling
depan. Tapi tentara Inggris di seberang kali itu tidak mengganggu mereka. Kisah
gugurnya Ganda dan Solimin dibawa oleh anak – anak pasukan itu, mereka bisikkan
dalam jaga dan mereka hidupkan dalam bayangan. Kalisosok memberikan pahlawan
lagi untuk revolusi.
Istri Solimin datang ke
pemakaman suaminya seminggu kemudian. Dengan membawa anaknya bercucuran air
mata karena telah ditinggalkan suaminya begitu cepat. Tanpa disengaja ia
bertemu Mobin. Percakapan pun terjadi. Saat itulah istri Solimin meminta Mobin
untuk mempertemukanya dengan ketua Pasukan. Dan pagi itu Mobin dan Alwi mengantarkan
istri Solimin menemui Kaelani. Saat itu Kaelani berada sendiri di gudang padi.
Sejak Solimin mati, gudang itu dipakai sebagai markas kecil buat mengatur anak
buahnya bergilir menempati kubu kubu pengadangan. Tiba tiba datanglah Mobin
membawa istri Solimin. Awalnya Kaelani tidak mau menemuinya, tapi karena istri
Solimin telah masuk kedalam apa boleh buat ia terpaksa menemuinya. Dalam
percakapan tersebut Kaelani menceritakan banyak hal kepada wanita tersebut.
Istri Solimin juga merasa bangga setelah mendapat penjelasan dari Kaelani bahwa
suaminya meninggal secara terhormat karena melaksanakan tugas dengan baik dan
berani. Kaelani memang sengaja tidak menceritakan kejadian sesungguhnya kepada
istri Solimin karena ia tidak ingin Solimin menjadi buruk di mata istrinya
hingga akhir hayatnya. Setelah perbincangan usai Istri Solimin meminta diri
hendak mengungsi kembali ke desa Semampir, di pinggiran kota Kediri. Pertemuan
itu memberikan kesan yang mendalam di hati Kaelani.
Tak berapa lama setelah
itu tiba-tiba terdengar ledakan dahsyat tiga kali. Belum pernah Kaelani
mendengar ledakan yang demikian dahsyat, juga tidak ketika orang-orang Inggris
menyerang pinggiran Surabaya dengan meriam-meriam pada permulaan revolusi. Jalan
sebelah barat telah putus di 3 tempat. Batu-batu berhamburan berpuluh meter. Tahulah Kaelani
bahwa tentara Ghurka telah mencoba memutuskan hubungan Gersik dan Lamongan,
satu-satunya daerah perbekalan dan sumber bantuan. Banyak korban berjatuhan, di
antaranya terdapat istri dan anak Solimin. Ironinya Marolah yang saat itu
menolongnya. Kaelani dan Marno saat itu tertegun penuh keharuan. Minah datang
dari daerah pendudukan hanya ingin tahu pasti di mana kuburan Solimin,
suaminya. Keinginan atau lebih tepatnya kesetiaan terhadap suaminya itu harus
dibayar dengan mahal. Mayat-mayat itu dikuburkan di belakang mesjid secara
tergesa-gesa karena keadaan
sudah sangat mendesak.
Kaelani menyadari bahwa
musuh akan ke Daerah Tak Bertuan. Mengingat keadaan yang makin berbahaya,
Kaelani memutuskan untuk meninggalkan Daerah Tak Bertuan yang sebentar lagi
akan diduduki musuh. Dengan anak buahnya Kaelani menuju ke arah barat membentuk
kantong pertahanan baru, untuk melanjutkan perjuangan. Semua kisah kisah
mengenai sahabat sahabatnya tak bakal mati, tentang manusia yang bersedia
menjadi tumbal bagi kemerdekaan Indonesia.
3 comments:
Sudah pernah baca di perpustakaan umum pas masih sekolah smp
Cerita tak bermakna
Novel ini menarik sekali sehingga dibuat film pada tahun 1963 oleh kakekku, alm. Baginda Eddy Sardi.
Post a Comment