Pages

Home » , » CERPEN "NEGERI MISKIN NURANI"

CERPEN "NEGERI MISKIN NURANI"

NEGERI MISKIN NURANI
Oleh: Yulian D'rayez

Malam ini aku tersadar kembali dari lamumanku. Entah untuk berapa lama aku termenung menatap sepanjang jalan raya itu. Di bawah kolong jembatan tak terasa angin dingin telah meminta perutku untuk di isi dengan benda benda yang sedari tadi tergambar dalam imajinasiku. Udara malam ini benar benar berbeda dari sebelumnya, terasa dingin menembus kulit kulitku yang mulai berkurang lemak. Terlihat tulang tulangku seperti ranting kayu, begitu ringkih dan kaku. Otakku pun melayang layang kembali memutar memory siang tadi. Disepanjang jalan yang kulewati, mataku memaksaku untuk sejenak terhenti pada sebuah gedung. Atap kokoh berwarna hijau menyerupai jamur yang subur ketika musim hujan datang mengaum. Banyak sekali orang orang hilir mudik membawa kendaraan mewahnya keluar masuk gedung tersebut.
“Lihatlah bodoh! Didalam sana kau akan temui orang orang kaya berdasi! Memegang uang yang tak akan pernah habis walau ia telah menyatu dengan tanah. Tidak sepertimu, hanya bisa meminta minta tanpa tahu kapan akan kaya!” kata salah satu benda didalam tengkorak kepalaku.
“Benar! Benar! Bahkan kau tak pernah menjamuku dengan makanan enak selama aku bersamamu! Kau hanya memberiku nasi basi dari sampah sampah yang kau temui!” seru salah satu suara dari dalam perutku.
Aku hanya terdiam membisu, menatap gedung itu. Mereka berdua terus saja mengoceh tak karuan, menyuarakan argument yang menurutku memang benar adanya.
“Mungkin memang itu nasib mereka yang berada didalam sana” kataku pada mereka sembari berjalan meninggalkan tempat itu.
            “Ah kau memang bodoh! Ingat ingatlah dulu, bukankah kau pernah diberinya janji untuk hidup enak asalkan kau mau memilihnya jadi wakil suaramu! Terdengar lagi dari dalam perutku berceloteh.
Kemudian katanya lagi, “ Sekarang seharusnya kau meminta hakmu bodoh! Ia telah berjingkrak jingkrak diatas penderitaanmu kini! Tidakkah kau merasa iri dengan ini? Hah!”
“Sudahlah tak perlu kalian menceramahiku, aku memang bodoh, tak berambisi seperti mereka” langkah kakiku kupercepat karena memang saat itu jalanan yang kulewati sangat panas. Tanpa alas kaki tanpa sehelai kain menutupi kepalaku.
“Sial! Bahkan kau tak memberiku keteduhan ketika panas memanggangku hidup hidup! Miskin sekali hidupmu!” umpat suara dari dalam kepalaku.
Tak kuhiraukan mereka, secapat mungkin aku berlari. Menembus rasa amarahku, mengumpat dan menangis.
“Hentikan! Aku sudah tak kuat lagi memberi tenaga untukmu. Inikah balasan yang kau berikan padaku. Kau menyakitiku!” lagi lagi entah dari mana asal suara itu.
Akupun terhenti, mengatur nafas. Mendudukkan pantatku diatas trotoar yang sangat panas, meskipun aku tahu tak dekat dari tempatku ada halte bus yang rindang yang dengan senang hati mengajakku untuk duduk didalamnya. Tapi ku-urungkan niatku, karena aku tahu, mereka yang lebih dulu duduk disana tak akan pernah mau menerima kehadiranku membaur bersama mereka. Aku adalah kotoran busuk bagi banyak orang, tak berguna dan harusnya berada di tenpat sampah, entahlah.
“inikah Negeri Miskin Nurani? Negeri bejat, Negeri tempatku berada bersama dua orang yang selalu memprotes hidupku dan bersemayam didalam tubuhku.” Gumamku
“apa yang kau lakukan selama hidupmu? Hingga kau seperti ini? Manusia bodoh yang tak pernah memberikan kami kebahagiaan!” berkata kembali ia dengan nada tinggi dan menggelegar. Aku dibuatnya pusing. Pusing sekali. Sangat pusing hingga keubun ubun.
Ingin rasanya aku muntah sejadi jadinya, mengeluarkan mereka dalam ragaku dan berharap waktu memberi kenyamanan pada diriku. Para iblis jahanam yang merasuki otak dan perutku, aku muak dengan mereka.
“Harusnya kau malu menjadi manusia. Hanya bisa ditindas seakan kau ini hewan kotor yang terbuang dari kumpulanmu. Hahahaha!” makhluk didalam otakku mulai menertawaiku.
“Diam kau!!!” bentakku pada makhluk itu.
Kemudian dengan sangat keras kupukul pukulkan kepalaku di dinding bawah jembatan mengingat kejadian siang tadi dan cemoohan para iblis itu. Udara dingin seakan seperti singa menyayat nyayat kulitku. Entah untuk berapa lama aku terdiam dan terkapar di tanah menahan rasa sakit karena benturan itu telah membuat kepalaku bersimbah darah.
 “aku tidak perlu malu, aku hanya merasa beban yang tertanggung di pundakku sangat berat. Tak dapat lagi aku topang dengan kondisiku yang semakin ringkih.” Ucapku lirih
Mataku berkunang kunang, darah yang mengalir di kepalaku mulai mengering tetapi aku masih merasakan pusing dan tekanan hebat menyertai rasa sakit itu. Kini, aku sendiri sudah muak terhadap diriku. Sudah demikian sering makhluk makhluk yang aku sendiri tak tahu dari mana datangnya dan menyelinap kedalam tubuhku, terus berusaha melantunkan sajak-sajak seakan merendahkanku dan memintaku untuk berbuat nista.
Pernah suatu ketika, para makhluk itu memintaku untuk merampok tas seorang wanita tua bangka yang baru keluar dari swalayan ternama yang tidak jauh dari tempatku meminta minta.
“hey kawan! Lihat wanita itu, lihat emas emas yang menggantung disekujur tubuhnya. Itu juga hak milikmu.” Makhluk itu membisikkan kata kata itu tepat di dalam otakku
Kemudian katanya lagi semakin mencengkeram nuraniku, “Ia tak ditakdirkan lahir sebagai keledai atau tikus got yang dibebani tanggungan sebesar dirimu. Tidakkah kau ingin merasakan hidup seperti dia juga?” setengah mati makhluk itu membujukku
“tapi aku tak bisa melakukannya, itu bukan diriku, aku tak pernah diajarkan untuk merampas milik orang seperti itu, tidak! Aku tidak mau! Itu tidak manusiawi!” Kataku sedikit gemetar.
“Ini bukan persoalan kemanusiaan kawan! Tapi ini persoalan hidup matimu! Tidakkan kau lapar? Tidakkan kau ingin makan makanan mewah? Memakai pakaian layak seperti orang orang? Berpikirlah kawan. Tanpa uang kau akan mati! Mati membusuk seperti kotoran!”  makhluk di dalam perutku semakin meninggikan suaranya.
Akupun mulai melangkahkan kakiku, dan semakin kupercepat dan berlari menghampiri wanita tua bangka itu. Kuraih tas kulit mahalnya, menarik sekuat tenaga. Wanita itu mencoba mempertahankan tasnya, dan kemudian BUK! BUK! BUK!
Tubuhku terasa sakit, punggungku dipukuli berkali kali oleh massa yang sempat memergokiku tengah menjambret tas wanita tua itu. Akupun terkapar bersimbah darah. Kepalaku bagian belakang terasa berat. Tak seorangpun sudi menolongku. Untung saat itu aku tak dibawa mereka ke kantor polisi dan hanya membiarkanku terkapar dijalanan. Untuk beberapa waktu aku masih terkapar disana. Walaupun saat itu aku belum memasukkan makanan sedikitpun didalam perut tirusku. Kukumpulkan tenagaku, sebisa mungkin aku berjalan kembali ke kubangku, dibawah jembatan.
Dan lagi lagi suara dari dalam otakku terdengar mengejekku, “hanya itukah kemampuanmu bodoh? Hahahaha kau tak urungnya seperti kambing yang baru keluar dari terkaman srigala.”
Beberapa hari berlalu tanpa perubahan apa-apa dariku. Dua makhluk itu masih sering berteriak-teriak, memukul-mukul kepalaku dan perutku dengan tangannya hingga aku dibuatnya pusing dan sesak pada bagian perutku.Penyesalan di setiap jeda doaku dan tiap deru nafasku, perasaan itu tetap saja bergelayut di pikiranku. Perasaan bahwa diriku tak pantas dilahirkan, juga perasaan bahwa diriku hanyalah setumpuk dosa yang mengejawantah sebagai sosok hidup bernama manusia. Malam ini aku hanya menikmati hidup yang semakin sakit tak karuan. Dua makhluk itu rupannya masih saja memberontak di dalam tubuhku. Beberapa hari ini aku sama sekali tak makan, dan hanya meminum air dari sepanjang bantaran yang kumuh ini. Siapa yang akan menang? Aku ataukah mereka yang bergelayutan didalam tubuh dan berusaha menjebol benteng ketabahanku? Entahlah. Yang pasti malam ini aku hanya ingin tidur dengan membiarkan luka menganga hampir busuk dan telah merusak sebagian jaringan dalam otakku karena benturan yang keras yang kuperbuat agar makhluk makhluk itu keluar dari diriku. Aku benar benar kelaparan.
“aku tak percaya ini, kau masih saja diam tanpa ada usaha sedikitpun untuk meneruskan hidupmu?” suara itu kembali mengajakku bicara dengan nada yang semakin mengambang.
“biarkan aku seperti ini, tinggalkan aku. Aku hanya ingin Tuhanku” kataku pada dua makhluk itu.
“aku ingin bercerita mengenai perjalananku pada-Nya. Hidup di dunia ternyata tak lebih indah dari pada hidup di sana bersama Tuhanku”
“Tuhan, ijinkan aku melepas ragaku.” Nafasku mulai tersengal sengal

Dua makhluk itu tiba tiba entah kemana, aku tak mendengar mereka berceloteh lagi, tak lagi menendang nendang perutku, dan kepalaku tak lagi pusing dibuatnya. Mataku semakin mengantuk dan mengantuk, kepalaku melayang. Dan akupun tertidur membawa luka yang ditorehkan Negeri Miskin Nurani ini padaku.
Share this article :

No comments:

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Blog DaSaBHuMi - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger